PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN JAWA
PADA AGAMA KATOLIK
DI GEREJA ST. IGNATIUS, KOTA
MAGELANG, JAWA TENGAH
Catatan peradaban budaya
di tanah Jawa ‘Jaman Edan’ yang ditulis oleh Ki Ronggowarsito sekitar tahun
1800 menjadi pembuka paparan AR. Yudono Suwondo Pr Romo Paroki St. Ignatius
Magelang dalam saresehan budaya Sabtu malam ( 17 November 2012 ) kemarin di
Panti Bina Bakti kompleks Gereja St. Ignatius Magelang setelah sebelumnya
diadakan Misa Syukur. ‘Kebudayaan itu bukan sekedar seni, bahasa, busana, atau
bahkan unggah-ungguh, namun lebih pada sikap, rasa dan pengalaman batin bersama
dengan Sang Pencipta’, demikian dikatakan Romo Wondo.
Saresehan yang bertajuk ‘Manembah ing Pangeran, Ngrambakake Pasamuan,
nguri-uri kabudayan’ ini diadakan menyambut tahun baru 1 Sura 1946 yang diikuti
oleh sekitar 150 peserta dan dibuka oleh FX. Krisno Handoyo Pr Romo Kepala
Paroki St. Ignatius Magelang. Dalam pengantarnya Romo Krisno yang adalah Vikep
Kedu ini mengatakan ; ‘Setiap peringatan tahun baru kita diajak untuk instropeksi
diri, entah tahun baru Masehi, tahun baru Imlek ataupun tahun baru Jawa. Eling
lan waspada, eling berarti ingat pada tujuan hidup kita adalah kepada Sang
Pencipta semesta ini dan selalu waspada terhadap perubahan peradaban yang
terjadi sebagai bagian dari alam semesta ini’.
Ulasan demikian merupakan
salah satu bukti bahwa Budaya Jawa telah memasuki dan telah bercampur sebagai
kebudayaan di Gereja Katolik St. Ignatius, Magelang. Sarasehan yang biasanya
hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat jawa yang sangat njawani itu kini telah merambat ke acara
keagamaan. Di masa sekarang ini, sedang gencar-gencarnya orang mempertahankan
budaya jawa. Betapa pentingnya kebudayaan jawa bagi masyarakat jawa itu
sendiri, dan sekarang masyarakat sudah mulai andil dalam nguri-uri kabudayan jawi.
Perkataan Romo Wondo pada
kegiatan sarasehan yang mengatakan, ‘Kebudayaan itu bukan sekedar seni, bahasa,
busana, atau bahkan unggah-ungguh, namun lebih pada sikap, rasa dan pengalaman
batin bersama dengan Sang Pencipta’. Disini Romo Wondo lebih menekankan bahwa
kebudayaan jawa itu sebenarnya sangat berhubungan dengan kedekatan kepada sang
pencipta. Jadi betapa sesuainya suatu kebudayaan itu kemudian di masukan
kedalam suatu agama.
Dikarenakan betapa
pentingnya suatu budaya dalam suatu peradaban masyarakat, maka pimpinan
tertinggi Gereja Katolik di Roma, Paus Benediktus XVI mencanangkan sebagai ‘Tahun Iman’ yang
telah dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012 hingga 24 November 2012 lalu. Dalam
Surat Apostoliknya ‘Pintu Kepada Iman’ mengajak kepada umat katolik untuk bukan
saja memahami secara lebih dalam iman kepercayaannya, melainkan juga tindakan
untuk mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang
sebebas-bebasnya. Salah satu cara dengan belajar dan mengingat kembali para
orang-orang suci yang memiliki petuah tentang kebudayaan sejati, budaya yang
membawa manusia selalu memiliki harapan akan hidup yang kekal. ‘Kebudayaan
adalah kelengkapan hidup manusia yang selalu berusaha mengerti siapa
jatidirinya, hidup bersama dalam paguyuban-paguyuban dan menyatu dengan alam
semesta’, demikian Romo Wondo mengakhiri paparannya.
Wujud kebudayaan jawa
yang masuk pada agama Katolik ini juga terbukti dengan adanya perayaan natal
yang di dekorasikan dengan nuansa budaya Jawa. Berikut ulasannya.
Perayaan
Natal 2011 di beberapa gereja Katolik Kevikepan Kedu, Jawa Tengah, bakal
dilangsungkan dalam nuansa budaya Jawa dan mendasarkan kehidupan masyarakat
setempat yang sebagian besar sebagai petani.
“Beberapa
gereja dan stasi mengemas misa Natal dengan nuansa Jawa dan pertanian karena
Kevikepan Kedu tidak lepas dari budaya masyarakat pegunungan yang sebagian
besar adalah petani,” kata Koordinator Komisi Komunikasi Sosial Gereja Katolik
Kevikepan Kedu E Yusuf Kusuma di Magelang, Rabu.
Wilayah Kevikepan Kedu sebagai bagian dari
Keuskupan Agung Semarang meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan
Temanggung yang terdiri atas 10 gereja paroki dan tiga stasi. Ia mengatakan,
misa malam natal di Kapel Gubug Selo Merapi, Paroki Sumber, Kecamatan Dukun,
Kabupaten Magelang, di kawasan barat Gunung Merapi, Sabtu (24/12), bakal
dikemas dengan menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan. Setelah misa,
katanya, umat akan melakukan pesta rakyat, sedangkan komunitas seniman petani
“Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor” mementaskan wayang orang dengan lakon
“Bimo Bungkus”. Pengurus Gereja Santo Ignatius Kota Magelang sebagai pusat
Kevikepan Kedu, katanya, menyiapkan tempat dan layanan khusus untuk umat
berusia lanjut dan difabel saat misa malam Natal, Sabtu (24/12), sedangkan misa
Natal anak-anak, pada Minggu (25/12).
Dari ulasan tersebut, terlihatlah suatu
kekerabatan antar umat beragama, khususnya agama Katolik. Karena disitu sangat
terlihat bagaimana partisipasi setiap gereja Katolik di kawasan Kedu dalam
menghadapi pasca natal, termasuk gereja St. Ignatius.
Kesimpulannya, dalam agama Katolik, kebudayaan
jawa dapat dimasukan pada acara-acara keagamaan. Seperti di Magelang ini,
kebudayaan jawa biasanya dimasukan pada acara sarasehan, natal, paskah, ataupun
acara rutin mingguan. Kebudayaan jawa yang dimasukan biasanya berupa nyanyian,
kidung-kidung jawa, doa-doa, alat musik gamelan (biasanya ditampilkan pada
acara khusus seperti natal atau paskah), juga tari-tarian jawa. Masuknya budaya
Jawa pada agama Katolik ini merupakan salah satu sarana pelestarian budaya Jawa
bagi agama Katolik itu sendiri, khususnya oleh masyarakat Katolik di Magelang.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar